√ Pengertian, Sumber, dan Asas Hukum Keluarga Indonesia

asas hukum keluarga

Ada banyak jenis hukum yang berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah hukum keluarga.  Aturan-aturan yang ada di dalamnya tentu berkaitan dengan keluarga.  Namun sebelum mempelajari lebih jauh, ada baiknya anda mengetahui definisinya, apa saja sumbernya, serta bagaimana asas-asas yang terkandung dalam hukum ini.

Untuk mengenal lebih jauh, pastikan anda tetap membaca artikel ini hingga tuntas. Mudah-mudahan dapat difahami dengan baik.

Read More

Pengertian Hukum Keluarga

Hukum keluarga adalah ketentuan yang mengatur hubungan hukum tentang kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa ada dua macam hubungan kekeluargaan yang masuk dalam ranah ini, yaitu hubungan sedarah (berdasarkan nasab / keluhuran yang sama), dan hubungan perkawinan (berdasarkan pernikahan).

Di samping itu, ada juga pendapat lain seputar pengertian hukum keluarga. Seperti pada beberapa kutipan pendapat para pakar hukum berikut:

  • Van Apeldoorn: peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
  • C.S.T. Kansil: memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
  • Rachmadi Usman: Hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
  • Djaja S Meliala: Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluaga sedarah dan keluarga karena perkawinan.

Baca juga: Inti Perbedaan Tersangka, Terdakwa, Terpidana [Hak & Kewajiban]

Sumber

Sumber hukum Keluarga terpetakan menjadi dua, yaitu sumber yang tertulis dan sumber yang tidak tertulis.

Sumber yang tertulis adalah seperangkat aturan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, jurisprudensi, dan traktat.

Sedang sumber yang tidak tertulis  adalah aturan yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat (adat).

Sumber hukum yang tertulis diantaranya:

  1. Kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPerdata)
  2. Peraturan perkawinan campuran (Stb. 1898 No. 158)
  3. Ordonasi perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon (Stb. 1933 No. 74)
  4. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (beragama Islam)
  5. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
  6. PP No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
  7. PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Hukum yang tidak tertulis masuk dalam kategori hukum adat. Hukum ini berbeda-beda berdasarkan adat istiadat masing-masing daerah di Indonesia.

Contoh Sederhana;

Dalam sistem matrilineal suku Minangkabau, berbentuk kawin bertandang, dimana kedudukan pria hanya sebagai tamu dan tidak berhak atas anaknya serta harta benda dalam rumah tangga.

Hal ini mungkin berbeda dengan budaya di daerah Anda.

Dalam budaya masyarakat suku Bugis-Makassar, terdapat ketentuan uang panai sebagai adat pernikahan.

Uang panai adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita.

Jumlahnya tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, tergantung pada kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak.

Dalam menentukan nominal uang panai, ada beberapa aspek yang menjadi penentu, yaitu status sosial dan tingkat pendidikan

Uang panai’ untuk wanita dari kaum bangsawan berbeda dengan uang panai’ untuk wanita dari masyarakat biasa.

Demikian pula, semakin tinggi tingkat pendidikan calon mempelai wanita, maka semakin besar uang panai yang harus diberikan oleh pihak pengantin pria.

Pelajari juga Asas Asas Hukum Pidana dalam KUHP

Asas

Asas hukum keluarga berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diantaranya adalah:

  1. Asas perkawinan agama, artinya perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing (pasal 31 UU No. 1 tahun 1974)
  2. Asas monogami, artinya seorang pria hanya diperbolehkan memiliki seorang istri, demikian juga sebaliknya.
  3. Asas poligami terbatas, artinya seorang pria diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu atas izin dari pengadilan setelah mendapat izin dari istri pertamanya dengan memenuhi syarat-syarat yang ketat.
  4. Asas konsensual, artinya perkawinan dianggap sah apabila terdapat persetujuan calon suami – istri yang akan melangsungkan perkawinan.
  5. Asas persatuan bulat, artinya terdapat persatuan harta benda yang dimiliki suami – istri (Pasal 119 KUHPerdata)
  6. Asas proporsional, artinya hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam keluarga dan pergaulan masyarakat. (Pasal 31 UU  No. 1  tahun 74 tentang perkawinan)
  7. Asas tidak dapat di bagi-bagi, artinya setiap perwalian hanya terdapat seorang wali.
  8. Asas kematangan, artinya calon suami istri telah mencapai kematangan jiwa (pasal 7 UU. No. 1 Tahun 1974)
  9. Asas perkawinan sipil, artinya perkawinan dianggap sah (menurut negara) apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil.

_____________

Sumber:

Neng Yani Nurhayani, S.H., M.H., Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung,  2015, hlm: 113-117

Related posts

Leave a Reply